Pengertian
dan Prinsip Dasar
Good Corporate
Governance (GCG)
“The proper governance of companies will become as crucial to the world
economies as the proper governing of countries”.
(James D. Wolfensohn,
President of the World Bank, c. 1999)
Sulit
dipungkiri, selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah Good Corporate
Governance (GCG) kian populer. Tak hanya populer, tetapi istilah tersebut juga
ditempatkan di posisi terhormat. Hal itu, setidaknya terwujud dalam dua
keyakinan. Pertama, GCG merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk
tumbuh dan menguntungkan dalam jangka panjang, sekaligus memenangkan persaingan
bisnis global – terutama bagi perusahaan yang telah mampu berkembang sekaligus
menjadi terbuka.
Kedua,
krisis ekonomi dunia, di kawasan Asia dan Amerika Latin yang diyakini muncul
karena kegagalan penerapan GCG. Di antaranya, Sistem Regulatory yang payah,
Standar Akuntansi dan Audit yang tidak konsisten, praktek perbankan yang lemah,
serta pandangan Board of Directors (BOD) yang kurang peduli terhadap hak-hak
pemegang saham minoritas.
Berdasarkan
keyakinan-keyakinan di atas itulah maka tidak mengherankan jika selama
dasawarsa 1990-an, tuntutan terhadap penerapan GCG secara konsisten dan
komprehensif datang secara beruntun. Mereka yang menyuarakan hal itu di
antaranya adalah berbagai lembaga investasi baik domestik maupun mancanegara,
termasuk institusi sekaliber World Bank, IMF, OECD, dan APEC. Dengan
melontarkan beberapa prinsip umum dalam CG seperti fairness, transparency,
accountability, stakeholder concern, dapat disimpulkan bahwa penerapan GCG
diyakini akan menolong perusahaan dan perekonomian negara yang sedang tertimpa
krisis bangkit menuju ke arah yang lebih sehat, maju, mampu bersaing, dikelola
secara dinamis serta profesional. Ujungnya adalah daya saing yang tangguh, yang
diikuti pulihnya kepercayaan investor.
Tentunya,
lembaga-lembaga besar itu tak asal bicara. Namun, apa sebetulnya GCG itu
sendiri? Apa prinsip-prinsip dasar yang dikandungnya? Lantas, apa manfaat
menerapkan GCG?
Sangat
jelas bahwa perhatian terhadap corporate governance belakangan ini terutama
dipicu oleh skandal spektakuler perusahaan-perusahaan publik di Amerika dan
Eropa, seperti Enron, Worldcom, Tyco, London & Commonwealth, Poly Peck,
Maxwell, dan lain-lain.Cadbury Report (UK) dan Treadway Report (US) secara
mendasar menyebutkan bahwa keruntuhan perusahaan-perusahaan publik tersebut
dikarenakan oleh kegagalan strategi maupun praktik curang dari manajemen puncak
yang berlangsung tanpa terdeteksi dalam waktu yang cukup lama karena lemahnya
pengawasan yang independen oleh corporate boards.
Isu
corporate governance itu sendiri muncul sejak diperkenalkannya pemisahan antara
kepemilikan dan pengelolaan perusahaan (Tri Gunarsih, 2003). Namun istilah
corporate governance itu sendiri secara eksplisit muncul pertama kali pada
tahun 1984 dalam tulisan Robert I. Tricker. Di dalam bukunya, Tricker memandang
corporate governance memiliki empat kegiatan utama sebagai berikut:
1.
Direction: Formulating the strategic
direction from the future of the enterprise in the long term;
2.
Executive action: Involvement in crucial
executive decisions;
3.
Supervision: Monitoring and oversight of
management performance, and
4.
Accountability: Recognizing responsibilities
to those making legitimate demand for accountability.
(Tricker, Robert I.,
1984, Corporate Governance – Practices, Procedures, and Power in British
Companies and Their Board of Directors, UK, Gower)
Teori-teori
Terkait
Dua
teori utama yang terkait dengan corporate governance adalah stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat
manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak
dengan penuh tanggung jawab memiliki, integritas, dan kejujuran terhadap pihak
lain. Inilah yang tersirat dalam hubungan fidusia yang dikehendaki para
pemegang saham. Dengan kata lain, stewardship theory memandang manajemen
sebagai dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan
publik pada umumnya maupun shareholders
pada khususnya.
Sementara
itu, agency theory yang dikembangkan
oleh Michael Johnson, seorang professor dari Harvard, memandang bahwa manajemen
perusahaan sebagai ‘agents’ bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan
penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan
bijaksana serta adil terhadap pemegang saham sebagaimana diasumsikan dalam
stewardship model. Bertentangan dengan stewardship
theory, agency theory memandang bahwa manajemen tidak dapat dipercaya untuk
bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders pada khususnya. Dengan
demikian, “managers could not be trusted to do their job – which of course is
to maximize shareholder value’ (Tricker, Opcit).
Dalam
perkembangan selanjutnya, agency theory
mendapat respons lebih luas karena dipandang lebih mencerminkan kenyataan yang
ada. Berbagai pemikiran mengenai corporate governance berkembang dengan
bertumpu pada agency theory di mana
pengelolaan perusahaan harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan bahwa
pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan
ketentuan yang berlaku. Upaya ini menimbulkan apa yang disebut sebagai agency costs, yang menurut teori ini
harus dikeluarkan sedemikian rupa sehingga biaya untuk mengurangi kerugian yang
timbul karena ketidakpatuhan setara dengan peningkatan biaya enforcement-nya.
“Biaya” yang harus
dibayar tersebut, dalam konteks corporate governance, adalah biaya untuk:
“…control
managerial ‘opportunism’ by having a board chair independent of the CEO and
using incentives to bind CEO interests to those of shareholders
(Jensen, M.C., and W.H. Meckling (1986), ‘Theory of the firm – managerial
behaviour, agency costs and ownership structure, “ Journal of Financial
Economics, No. 3, pp. 305-60).
Agency costs
ini mencakup biaya untuk pengawasan oleh pemegang saham; biaya yang dikeluarkan
oleh manajemen untuk menghasilkan laporan yang transparan, termasuk biaya audit
yang independen dan pengendalian internal; serta biaya yang disebabkan karena
menurunnya nilai kepemilikan pemegang saham sebagai bentuk “bonding expenditures” yang diberikan
kepada manajemen dalam bentuk opsi dan berbagai manfaat untuk tujuan
menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham.
Meskipun
demikian, potensi untuk munculnya agency
problem tetap ada karena adanya pemisahan antara kepengurusan dengan
kepemilikan perusahaan, khususnya di perusahaan-perusahaan publik.
Bagaimana
perbandingan kegiatan antara corporate
governance dan corporate management
memperlihatkan bahwa corporate governance
sangat terkait dengan aspek pengawasan dan akuntabilitas, sementara corporate
management terkait dengan keputusan-keputusan dan pengendalian eksekutif serta
manajemen operasional. Sementara itu, titik temu atau irisan antara keduanya
dalam banyak hal terwujud dalam pengambilan keputusan-keputusan strategik
perusahaan sebagaimana terlihat pada gambar berikut ini:
Definisi
Good Corporate Governance (GCG)
Sebagai
sebuah konsep, GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal. Komite Cadburry,
misalnya, pada tahun 1992 – melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadburry
Report – mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadburry,
GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai
keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan
pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada
umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur,
manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan
perusahaan di lingkungan tertentu.
Center
for European Policy Studies (CEPS), punya formula lain. GCG, papar pusat studi
ini, merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses,
serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan.
Sebagai catatan, hak di sini adalah hak seluruh stakeholders, bukan terbatas
kepada shareholders saja. Hak adalah berbagai kekuatan yang dimiliki
stakeholders secara individual untuk mempengaruhi manajemen. Proses, maksudnya
adalah mekanisme dari hak-hak tersebut. Adapun pengendalian merupakan mekanisme
yang memungkinkan stakeholders menerima informasi yang diperlukan seputar aneka
kegiatan perusahaan.
Sejumlah
negara juga mempunyai definisi tersendiri tentang GCG. Beberapa negara
mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit
perbedaan istilah. Kelompok negara maju (OECD), umpamanya mendefinisikan GCG
sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab pada shareholder-nya.
Para pengambil keputusan di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan,
dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholders lainnya.
Karena itu fokus utama di sini terkait dengan proses pengambilan keputusan dari
perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency, responsibility,
accountability, dan tentu saja fairness.
Sementara
itu, ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa GCG mengandung empat nilai utama
yaitu: Accountability, Transparency, Predictability dan Participation.
Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia.
Menurut lembaga tersebut GCG merupakan suatu proses serta struktur yang
digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke
arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan
akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang tetapi tetap
memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya.
Lantas
bagaimana dengan definisi GCG di Indonesia? Di tanah air, secara harfiah,
governance kerap diterjemahkan sebagai “pengaturan.” Adapun dalam konteks GCG,
governance sering juga disebut “tata pamong”, atau penadbiran – yang terakhir
ini, bagi orang awam masih terdengar janggal di telinga. Maklum, istilah itu
berasal dari Melayu. Namun tampaknya secara umum di kalangan pebisnis, istilah
GCG diartikan tata kelola perusahaan, meskipun masih rancu dengan terminologi
manajemen. Masih diperlukan kajian untuk mencari istilah yang tepat dalam
bahasan Indonesia yang benar.
Kemudian,
“GCG” ini didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang
digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC, RUPS) guna memberikan nilai tambah
kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan
tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan
perundangan dan norma yang berlaku.
Dari definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance merupakan:
1.
Suatu struktur yang mengatur pola
hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan
Para Stakeholder lainnya.
2.
Suatu sistem pengecekan dan perimbangan
kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang:
pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
3.
Suatu proses yang transparan atas
penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.
Dari pengertian di atas
pula, tampak beberapa aspek penting dari GCG yang perlu dipahami beragam
kalangan di dunia bisnis, yakni;
·
Adanya keseimbangan hubungan antara
organ-organ perusahaan di antaranya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
Komisaris, dan direksi. Keseimbangan ini mencakup hal-hal yang berkaitan dengan
struktur kelembagaan dan mekanisme operasional ketiga organ perusahaan tersebut
(keseimbangan internal)
·
Adanya pemenuhan tanggung jawab
perusahaan sebagai entitas bisnis dalam masyarakat kepada seluruh stakeholder.
Tanggung jawab ini meliputi hal-hal yang terkait dengan pengaturan hubungan
antara perusahaan dengan stakeholders (keseimbangan eksternal). Di antaranya,
tanggung jawab pengelola/pengurus perusahaan, manajemen, pengawasan, serta
pertanggungjawaban kepada para pemegang saham dan stakeholders lainnya.
·
Adanya hak-hak pemegang saham untuk
mendapat informasi yang tepat dan benar pada waktu yang diperlukan mengenai
perusahaan. Kemudian hak berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai
perkembangan strategis dan perubahan mendasar atas perusahaan serta ikut
menikmati keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam pertumbuhannya.
·
Adanya perlakuan yang sama terhadap para
pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing
melalui keterbukaan informasi yang material dan relevan serta melarang
penyampaian informasi untuk pihak sendiri yang bisa menguntungkan orang dalam
(insider information for insider trading).
Empat
Prinsip Utama Corporate Governance
Setelah
definisi serta aspek penting GCG terpaparkan di atas, maka berikut adalah
prinsip yang dikandung dalam GCG. Di sini secara umum ada empat prinsip utama
yaitu: fairness, transparency, accountability, dan responsibility.
1. Fairness (Kewajaran)
Secara
sederhana kewajaran (fairness) bisa
didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak
stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang
berlaku.
Fairness
juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan penegakan
peraturan untuk melindungi hak-hak investor – khususnya pemegang saham
minoritas – dari berbagai bentuk kecurangan. Bentuk kecurangan ini bisa berupa insider trading (transaksi yang
melibatkan informasi orang dalam), fraud
(penipuan), dilusi saham (nilai perusahaan berkurang), KKN, atau
keputusan-keputusan yang dapat merugikan seperti pembelian kembali saham yang
telah dikeluarkan, penerbitan saham baru, merger, akuisisi, atau
pengambil-alihan perusahaan lain.
Biasanya,
penyakit yang timbul dalam praktek pengelolaan perusahaan, berasal dari
benturan kepentingan. Baik perbedaan kepentingan antara manajemen (Dewan
Komisaris dan Direksi) dengan pemegang saham, maupun antara pemegang saham
pengendali (pemegang saham pendiri, di Indonesia biasanya mayoritas) dengan
pemegang saham minoritas (pada perusahaan publik biasanya pemegang saham
publik). Di tengah situasi seperti ini, lewat prinsip fairness, ada beberapa
manfaat yang diharapkan bisa dipetik. Apa saja manfaat itu?
Fairness diharapkan
membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent (hati-hati),
sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara fair (jujur dan adil). Fairness juga diharapkan memberi
perlindungan kepada perusahaan terhadap praktek korporasi yang merugikan
seperti disebutkan di atas. Pendek kata, fairness
menjadi jiwa untuk memonitor dan menjamin perlakuan yang adil di antara beragam
kepentingan dalam perusahaan.
Namun
seperti halnya sebuah prinsip, fairness memerlukan syarat agar bisa
diberlakukan secara efektif. Syarat itu berupa peraturan dan perundang-undangan
yang jelas, tegas, konsisten dan dapat ditegakkan secara baik serta efektif.
Hal ini dinilai penting karena akan menjadi penjamin adanya perlindungan atas
hak-hak pemegang saham manapun, tanpa ada pengecualian. Peraturan
perundang-undangan ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat
menghindari penyalahgunaan lembaga peradilan (litigation abuse). Di antara
(litigation abuse) ini adalah penyalahgunaan ketidakefisienan lembaga peradilan
dalam mengambil keputusan sehingga pihak yang tidak beritikad baik
mengulur-ngulur waktu kewajiban yang harus dibayarkannya atau bahkan dapat
terbebas dari kewajiban yang harus dibayarkannya.
2. Transparency (Keterbukaan Informasi)
Transparansi
bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan
keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan.
Perbincangan
prinsip ini sendiri sangatlah menarik. Pasalnya, isu yang sering mencuat adalah
pertentangan dalam menjalankan prinsip ini. Semisal, adanya kekhawatiran
perusahaan bahwa jika ia terlalu terbuka, maka strateginya dapat diketahui
pesaing sehingga membahayakan kelangsungan usahanya. Wajarkah kekhawatiran
seperti itu?
Menurut
peraturan di pasar modal Indonesia, yang dimaksud informasi material dan
relevan adalah informasi yang dapat mempengaruhi naik turunnya harga saham
perusahaan tersebut, atau yang mempengaruhi secara signifikan risiko serta
prospek usaha perusahaan yang bersangkutan. Mengingat definisi ini sangat
normatif maka perlu ada penjelasan operasionalnya di tiap perusahaan.
Karenanya, kekhawatiran di atas, sebetulnya tidak perlu muncul jika kita mampu
menjabarkan kriteria informasi material secara spesifik bagi masing-masing
perusahaan.
Dalam
mewujudkan transparansi ini sendiri, perusahaan harus menyediakan informasi
yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan
dengan perusahaan tersebut. Setiap perusahaan, diharapkan pula dapat
mempublikasikan informasi keuangan serta informasi lainnya yang material dan
berdampak signifikan pada kinerja perusahaan secara akurat dan tepat waktu.
Selain itu, para investor harus dapat mengakses informasi penting perusahaan
secara mudah pada saat diperlukan.
Ada
banyak manfaat yang bisa dipetik dari penerapan prinsip ini. Salah satunya, stakeholder dapat mengetahui risiko yang
mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan perusahaan. Kemudian, karena
adanya informasi kinerja perusahaan yang diungkap secara akurat, tepat waktu,
jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, maka dimungkinkan terjadinya
efisiensi pasar. Selanjutnya, jika prinsip transparansi dilaksanakan dengan
baik dan tepat, akan dimungkinkan terhindarnya benturan kepentingan (conflict
of interest) berbagai pihak dalam manajemen.
3. Accountability (Dapat Dipertanggungjawabkan)
Akuntabilitas
adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertangungjawaban organ perusahaan
sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
Masalah
yang sering ditemukan di perusahaan-perusahaan Indonesia adalah mandulnya
fungsi pengawasan Dewan Komisaris. Atau justru sebaliknya, Komisaris Utama
mengambil peran berikut wewenang yang seharusnya dijalankan direksi. Padahal,
diperlukan kejelasan tugas serta fungsi organ perusahaan agar tercipta suatu
mekanisme pengecekan dan perimbangan dalam mengelola perusahaan.
Kewajiban
untuk memiliki Komisaris Independen dan Komite Audit sebagaimana yang
ditetapkan oleh Bursa Efek Jakarta, merupakan salah implementasi prinsip ini.
Tepatnya, berupaya memberdayakan fungsi pengawasan Dewan Komisaris. Beberapa
bentuk implementasi lain dari prinsip accountability antara lain:
·
Praktek Audit Internal yang Efektif,
serta
·
Kejelasan fungsi, hak, kewajiban,
wewenang dan tanggung jawab dalam anggaran dasar perusahaan dan Statement of
Corporate Intent (Target Pencapaian Perusahaan di masa depan)
Bila
prinsip accountability ini diterapkan secara efektif, maka ada kejelasan
fungsi, hak, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab antara pemegang saham,
dewan komisaris, serta direksi. Dengan adanya kejelasan inilah maka perusahaan
akan terhindar dari kondisi agency problem (benturan kepentingan peran).
4. Responsibility (Pertanggungjawaban)
Pertanggungjawaban
perusahaan adalah kesesuaian (patuh) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap
prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.
Peraturan yang berlaku di sini termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak,
hubungan industrial, perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/ keselamatan
kerja, standar penggajian, dan persaingan yang sehat.
Beberapa contoh
mengenai hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
·
Kebijakan sebuah perusahaan makanan untuk
mendapat sertifikat “HALAL”. Ini merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada
masyarakat. Lewat sertifikat ini, dari sisi konsumen, mereka akan merasa yakin
bahwa makanan yang dikonsumsinya itu halal dan tidak merasa dibohongi
perusahaan. Dari sisi Pemerintah, perusahaan telah mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Perlindungan Konsumen). Dari sisi
perusahaan, kebijakan tersebut akan menjamin loyalitas konsumen sehingga
kelangsungan usaha, pertumbuhan, dan kemampuan mencetak laba lebih terjamin,
yang pada akhirnya memberi manfaat maksimal bagi pemegang saham.
·
Kebijakan perusahaan mengelola limbah
sebelum dibuang ke tempat umum. Ini juga merupakan pertanggungjawaban kepada
publik. Dari sisi masyarakat, kebijakan ini menjamin mereka untuk hidup layak
tanpa merasa terancam kesehatannya tercemar. Demikian pula dari sisi
Pemerintah, perusahaan memenuhi peraturan perundang-undangan lingkungan hidup.
Sebaliknya dari sisi perusahaan, kebijakan tersebut merupakan bentuk jaminan
kelangsungan usaha karena akan mendapat dukungan pengamanan dari masyarakat
sekitar lingkungan.