1. Pengertian
Konflik
Konflik
berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut perbedaan
ras, suku, bangsa, klan, agama, profesi hingga jenis kelamin.
Perbedaan-perbadaan itu memuncak menjadi konflik ketika system social
masyarakatnya tidak dapat mengakomodasi perbedaan-perbedaan tersebut, hal itu
mendorong masing-masing individu atau kelompok untuk saling menghancurkan.
Dalam hal ini, Soerjono Soekarto megatakan bahwa “perasaan” memegang peranan
penting dalam mempertajam perbedaan-perbedaan tersebut. Perasaan-perasaan,
seperti amarah dan rasa benci, mendorong masing-masing pihak untuk menekan atau
menghancurkan individu atau kelompok lawan. Sementara itu, menurut De Moor,
system social dapat dikatakan mengandung konflik hanya jika para penghuni
system tersebut membiarkan dirinya dibimbing oleh tujuan-tujuan (atau
nilai-nilai) yang bertentangan dan terjadi secara besar-besaran.
Konflik
adalah sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat, konflik hanya akan hilang
bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan
integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat.
Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang
tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
2.
Faktor penyebab konflik
•
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia tentu memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Coba perhatikan diri
anda sendiri dan teman sekelas! Tentu anda akan menemukan adanya perbedaan pendirian
dan perasaan antara anda dengan teman sekelas anda atas sesuatu hal. Perbedaan
pendirian tersebut dapat menjadi factor penyebab konflik. Sebagai contoh, anda
dan beberapa teman memiliki pendirian bahwa ketika belajar, suasana kelas
haruslah tenang. Sementara itu, teman-teman anda yang lain berpendirian bahwa
belajar sambil bernyanyi adalah sesuatu yang menyenangkan dan membantu.
Perbedaan pandangan seperti itu tidak jarang menimbulkan rasa amarah. Hal itu
dapat berlanjut pada perasaan benci hingga dapat timbul usaha untuk saling
menghancurkan.
•
Perbedaan latar belakang kebudayaan
Anda
tentu sudah tahu bahwa kepribadian seseorang sedikit banyak dibentuk oleh kelompoknya. Secara sadar atau tidak,
seseorang akan terpengaruh oleh pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai kesopanan tentu akan terpengaruh untuk bersikap sopan
ketika bertemu atau berbincang dengan orang lain. Sebaliknya, anak yang
dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang tidak mempedulikan nilain kesopanan
tentu akan cenderung mengabaikan kesopanan ketika bertemu dan berbincang dengan
orang lain. Dari contoh ini terlihat bahwa perbedaan kepribadian seseorang
tergantung dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan
dan perkembangan kepribadian orang tersebut. Perbedaan kepribadian individu
akibat pola kebudayaan yang berbeda seperti itu tidak jarang menjadi penyebab
terjadinya konflik antarkelompok masyarakat. Interaksi social antaridividu atau
antar kelompok dengan pola kebudayaan yang cenderung berlawanan dapat
menimbulkan rasa marah dan benci sehinnga dapat berakibat konflik.
•
Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, diantaranya menyangkut
bidang ekonomi, politik, dan sosial.
Perbedaan kepentingan antarindividu
maupun kelompok merupakan factor lain penyebab konflik atau pertentangan.
Setiap individu tentu memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam
melihat atau mengerjakan sesuatu. Demikian pula dengan kelompok. Setiap kelompok
tentu memiliki kepentingan yang berbeda-beda dalam meihat atau mengerjakan
sesuatu. Kepentingan itu dapat menyangkut kepentingan politik, ekonomi, social
dan budaya.
Sebagai contoh, hubungan antara
Pemda dan pengusaha tertentu. Ada pejabat Pemda yang melihat hubungan itu
sebagai cara untuk menarik investasi pengusaha dalam pembangunan daerah. Ada
juga sebagian pejabat yang melihat hubungan itu sebagai kesempatan untuk
mengisi pundi-pundi keuangan pribadinya dengan cara berkolusi dengan pengusaha
tersebut. Sementara itu, pihak pengusaha melihat hubungan itu sebagai
kesempatan untuk mendapatkan proyek pemerintah dan menambah keuntungan
bisninsnya. Perbedaan kepentingan antarindividu maupun kelompok seperti contoh
tersebut dapat menimbulkan konflik social di masyarakat.
•
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Masyarakat merupakan sekelompok
manusia yang terus berubah seiring dengan perkembangan kebutuhan dan
pengetahuannya. Coba kita perhatikan masyarakat kita saat ini dan bandingkan
dengan keadaan sebelumnya sekitar 10 atau 20 tahun yang lalu. Tentu sangat
berbeda. Perubahan-perubahan tersebut tentu juga akan mempengaruhi cara pandang
sebagian anggota masyarakat terhadap nilai, norma, dan pola perilaku
masyarakat. Apalagi jika perubahan itu berlangsung dengan cepat dan meluas.
Muncullah perilaku-perilaku lain yang dianggap oleh sebagian anggota masyarakat
lain sebagai perilaku “berlawanan, aneh, dan bertentangan” dengan kebudayaan
masyarakatnya. Situasi seperti itu dapat memunculkan konflik atau pertentangan.
Sebagai contoh, konflik antara kaum
muda dan kaum tua. Biasanya, kaum muda cenderung ingin merombak pola perilaku
atau tradisi masyarakatnya, sedangkan kaum tua ingin tetap mempertahankan pola
perilaku dan tradisi nenek moyangnya. Hal yang sama dapat kita saksikan dari
proses perubahan pedesaan Indonesia saat ini sedang mengalami proses perubahan
dari masyarakat yang tradisional ke masyarakat industry. Nilai-nilai dari
masyarakat yang tradisional seperti nilai kegotongroyongan berganti mejadi
nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan dengan jenis pekerjaannya.
Demikian juga dengan nilai-nilai. Nilai kebersamaan berubah menjadi
individualis, dan nilai pemanfaatan waktu yang awalnya berorientasi pada fungsi
social berubah menjadi fungsi materialis, yaitu “waktu adalah uang”. Perubahan
seperti itu tidak jarang menimbulkan konflik-konflik di tengah masyarakat. Konflik
tersebut mucul karena ada upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan.
Perubahan itu dianggap mangacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
3. Jenis-jenis konflik
Menurut
Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
•
konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara
peranan-peranan dalam keluarga atau profesi, seperti peranan seorang suami dan
istri dalam mendapatkan penghasilan.
•
konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
•
konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
•
konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara).
Berdasarkan
bentuknya, Lewis A. Coser membedakan konflik atas dua bentuk, yakni konflik
realistis dan konflik nonrealistic.
a. Konflik realistic
Merupakan
konflik yang berasal dari kekecewaan individu atau kelompok terhadap system dan
tuntutan-tuntutan yang terdapat dalam hubungan social. Para karyawan yang
mengadakan pemogokan melawan manajemen perusahaan merupakan salah satu contoh
konflik realistic.
b. Konflik nonrealistic
Merupakan
konflik yang bukan berawal dari tujuan-tujuan persaingan yang antagonis
(berlawanan), melainkan dari kebutuhan pihak-pihak tertentu untuk meredakan
ketegangan. Dalam masyarakat tradisional, pembalasan dendam lewat ilmu ghaib
merupakan bentuk konflik nonrealistic. Demikian juga halnya dengan upaya
mencari kambing hitam yang sering terjadi dalam masyarakat yang telah maju.
4. Akibat konflik
Segi
positif suatu konflik adalah sebagai berikut :
a.
Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami
konflik dengan kelompok lain. William F. Ogburn dan Mayer Nimkoff mengatakan
bahwa semakin besar permusuhan terhadap kelompok luar semakin besar pula
integrasi atau solidaritas internal kelompok. Anggota-anggota kelompok akan
bersatu untuk menghadapi musuh besar mereka.
b.
Konflik merupakan jalan untuk mengurangi ketergantungan antarindividu dan
kelompok.
c.
Konflik dapat membantu menghidupkan kembali norma-norma lama dan mencoptakan
norma-norma baru.
d.
Konflik memungkinkan adanya penyesuaian kembali norma-norma, nilai-nilai, serta
hubungan-hubungan social dalam kelompok bersangkutan dengan kebutuhan individu
atau kelompok.
e.
Koflik dapar memperjelas aspek-aspek kehidupan yang belum jelas atau masih
belum tuntas ditelaah. Sebagai contoh, perbedaan pendapat tentang suatu
permasalahan dalam diskusi atau seminar biasanya bersifat positif. Perbedaan
pendapat justru dapat memperjelas dan mempertajam kesimpulan seminar tersebut.
Segi
negative suatu konflik adalah sebagai berikut :
A.
keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
B.
perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci,
saling curiga dll.
C.
kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
D.
dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
•
Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan
percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
•
Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan
percobaan untuk "memenangkan" konflik.
•
Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan
yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
•
Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk
menghindari konflik.
5. Contoh konflik
•
Konflik Vietnam berubah menjadi perang.
•
Konflik Timur Tengah merupakan contoh konflik yang tidak terkontrol, sehingga
timbul kekerasan. hal ini dapat dilihat dalam konflik Israel dan Palestina.
•
Konflik Katolik-Protestan di Irlandia Utara memberikan contoh konflik
bersejarah lainnya.
Cara pengendalian konflik social
Ada 3 syarat agar
koflik tidak berakhir dengan kekerasan :
1.Setiap
kelompok yang terlibat dalam konflik harus menyadari akan adanya situasi
konflik di antara mereka.
2.Pengendalian
konflik-konflik tersebut hanya mungkin bias dilakukan apabila berbagai kekuatan
sosial yang saling bertentangan itu terorganisasi dengan jelas.
3.Setiap
kelompok yang terlibat dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan main tertentu
yang telah disepakati bersama.
Pada
umumnya, masyarakat memiliki sarana atau mekanisme untuk mengendalikan konflik
di dalam tubuhnya. Beberapa ahli menyebutnya sebagai katup penyelamat (safety
valve) yaitu suatu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kelompok
dari kemungkinan konflik. Lewis A. Coser melihat katup penyelamat itu sebagai
jalan keluar yang dapat meredakan permusuhan antara 2 pihak yang berlawanan.
Secara umum, ada 3macam bentuk pengendalian konflik :
1. Konsiliasi
pengendalian konflik yang dilakukan dengan melalui
lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan diskusi dan pengambilan keputusan
yang adil di antara pihak-pihak bertikai. Contoh bentuk pengendalian konflik
ini adalah melalui lembaga perwakilan rakyat. Berbagai kelompok kepentingan
yang bertikai bertemu di dalam lembaga ini untuk menyelesaikan konflik mereka.
Agar
dapat berfungsi efektif dalam menyelesaikan konflik, lembaga-lembaga konsiliasi
harus memenuhi empat hal, yaitu :
a.
lembaga tersebut
harus merupakan lembaga yang otonom. Keputusan yang diambilnya merupakan
keputusan murni tanpa campur tangan dari lembaga lain.
b.
Kedudukan
lembaga tersebut di dalam masyarakat yang bersangkutan harus bersifat
monopolistis. Artinya, hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian.
c.
Lembaga tersebut
harus berperan agar kelompok yang bertikai merasa terikat kepada lembaga
tersebut. Selain itu, keputusan-keputusannya berlaku mengikat kelompok-kelompok
tersebut.
d.
Lembaga tersebut
harus bersifat demokratis, yakni setiap pihak harus diberi kesempatan untuk
menyatakan pendapatnya sebelumkeputusan tersebut diambil.
2. Mediasi
Pengendalian
yang dilakukan apabila kedua pihak yang berkonflik sepakat untuk menunjuk pihak
ketiga sebagai mediator. Pihak ketiga ini akan memberikan pemikiran atau
nasihat-nasihatnya tentang cara terbaik dalam menyelesaikan pertentangan
mereka. Sekalipun pemikiran atau nasihat pihak ketiga tersebut tidak mengikat,
cara pengendalian ini kadang-kadang menghasilkan penyelesaian yang cukup
efektif. Cara mediasi cukup efektif untuk mengurangi irasionalitas yang
biasanya timbul dalam konflik. Dengan cara mediasi ini, ada kemungkinan
pihak-pihak yang berkonflik akan menarik diri tanpa harus “kehilangan murka”.
3.Arbritasi
Pengendalian
yang dilakukan apabila kedua belah pihak yang berkonflik sepakat untuk menerima/terpaksa
menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan keputusan
tertentu untuk menyelesaikan konflik.
Pada
bentuk mediasi, pemikiran atau nasihat dari pihak ketiga bukan merupakan
keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang berkonflik. Sebaliknya, dalam
bentuk perwasitan, kedua belah pihak harus menerima keputusan-keputusan yang
diambil pihak ketiga (wasit). Dengan kata lain, pihak ketiga tidak mengarahkan
konflik untuk suatu tujuan tertentu yang memenangkan salah satu pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar